Rasa itu...
B |
ocah sebelas tahun itu megap - megap. Dialihkan pandangannya dari
semangkuk air yang kubawakan untuk
membasuh mukanya. " Jauhkan ! Aku tak mau... ! "
Aku memandangnya iba. Kasihan, bocah sekecil ini harus terpisah dari ayah - bundanya akibat bencana banjir yang
terjadi di daerah Kampung Sewu, Surakarta. Beberapa hari yang lalu kami
menemukannya tergantung di atas sebuah dahan pohon setelah air mengering. Ia terbuang dari kampung halaman
dan semua yang dicintainya saat banjir melanda daerahnya.
Membawanya keluar dari daerah bencana bukan perkara mudah. Tiga hari tiga malam aku
harus bersitegang
dengan Ketua
Komite Penyelamat Anak - Anak Korban Bencana.
"Tidak ada yang boleh dibawa dari daerah ini, apa pun alasannya!" ketua
komite berkata tegas. Di sampingnya, sang sekretaris mengangguk lemah.
"Aku hanya bertindak atas dasar kemanusiaan ! Cuma kemanusiaan !" aku membalas tak kalah
kerasnya.
Ketua komite, laki - laki kerempeng dengan kumis lebat itu
makin memelototkan mata ke arahku. "Sebenarnya apa kemauan Anda ?" ia mulai melunak.
"Aku ingin memberinya kehidupan yang lebih baik, setelah tahu ia papa,
sebatang kara. Itu saja !"
aku menjawab datar, mencoba menahan emosi.
"Anda tak memperlakukannya sebagai aset bukan ?!" aku menambahkan.
"Maksudnya, Anda mencurigai saya menyelewengkan bantuan untuk anak-anak
malang itu ? ! Jaga kata - katamu, Bung!" suaranya kembali
meninggi.
"Aku tidak mengatakan demikian, Anda sendiri yang mengartikan begitu!"
Sebagai reporter, aku memilih untuk mengalah. Setelah berkutat lama dengannya,
akhirnya ia mengizinkan aku membawa bocah lelaki itu pergi dari kamp
pengungsian. Pada mulanya, bocah itu merasa senang ikut denganku. Sepanjang
perjalanan ia menghabiskan beberapa batang coklat, sebungkus biskuit, dan
beberapa botol aqua, yang memang kubawa khusus untuk bekal selama beberapa hari
di daerah bencana. Masalah baru timbul setelah tiba di Jakarta. Ia mulai rewel
dan merengek minta pulang. "Pulang... Pulang... Ayah... Bunda...
Pulang...."
"Baik, kita pulang. Tapi tidak sekarang. Kita tunggu bus, ok ?!"
Setengah mati aku membujuknya. Sempat pula menyelinap sebersit keraguan,
dapatkah aku mengasuh seorang anak dengan jadwal kerja yang amat padat ? Tetapi niatku mengalahkan segalanya.
Aku ingin mengatakan pada bocah itu bahwa dunia tidak ikut berhenti berputar
ketika semua yang ada di sekitarnya porak poranda. Baginya hidup harus terus
berjalan.
Aku sendiri tak begitu jelas mengapa aku memilihnya untuk tinggal bersamaku,
membawanya pergi ke tempat yang jauhnya ratusan kilometer dari daerah asalnya,
dan mengajarinya tentang harapan - harapan masa depan. Ia menarik
perhatianku karena kekuatannya menghadapi murka alam dan itu sudah cukup bagiku
untuk mengajaknya tinggal bersama. Sebaliknya, di sisi lain, ia mengajariku
satu hal bahwa orang tak harus menyerah apa pun yang dihadapinya. Di sepanjang
perjalanan bocah itu sedikit pun tak bercerita tentang pengalamannya tersangkut
berhari - hari di atas pohon. Sesekali, ia hanya
mengangguk atau menggeleng bila kutanya sesuatu.
"Diaz, selama di pohon bisa tidur ?" Ia memandangku dan menggeleng,
matanya bekerjap - kerjap seolah menahan perih dan
mungkin saja ia merasa aneh dengan pertanyaan tolol macam itu. Sesudahnya aku
merasa gagal untuk menyingkap pengalaman - pengalamannya, mengetahui seluk-beluk
saat ia mengalami mimpi buruk mungkin sepanjang hidupnya.
Aku singkirkan baskom berisi air, dan menggantinya dengan waslap sekedar
menyeka mukanya dari debu dan keringat, biar ia merasa lebih nyaman. Ketika
tanganku mulai mengelap, ia memejamkan mata rapat-rapat dan meringis kesakitan.
"Diaz, kamu baik - baik kan ?" Tanpa membuka mata ia
menggeleng keras - keras hingga waslap di tanganku hampir
jatuh dan dengan susah payah aku berhasil menangkapnya. Aku mendekat dan
memeriksa wajahnya barangkali ada luka atau pasir masuk pada pori-pori
kulitnya. Beberapa goresan kecil menghiasi pipi dan dahinya, barangkali terkena
benda - benda tajam saat ia terombang - ambing air tak tentu arah. Ah, betapa
berharganya waktu bagi bocah ini dan tentu saja bagiku yang kadang tak sempat
menangkapnya dengan baik. Sering aku mengabaikannya untuk hal - hal yang sia - sia tanpa menyadarinya.
Beberapa hari berlalu tanpa perubahan apa - apa dari Diaz. Ia masih sering
berteriak - teriak, memukul - mukul wajahnya dengan tangannya, dan
menyembunyikan pandangannya dari air. Kulihat tubuhnya lusuh akibat berhari - hari tak tersentuh air kecuali hanya
dengan waslap. Sementara Bibi yang kugaji untuk merawatnya sudah mulai merasa
bosan. "Saya mundur saja Mas, ndak sanggup. Bocah itu selalu rewel dan
ulahnya bikin kesal," katanya suatu kali. "Bayangkan, ia berteriak
kuat - kuat ketika saya berniat memandikannya
dengan membawanya ke kamar mandi...."
"Biarkan dia nggak mandi Bi. Saya nanti yang akan menyekanya. Tugas Bibi
hanya masak dan mencuci pakaian kami saja," kataku mencoba menahannya
supaya tetap tinggal di rumah kami.
Di suatu kesempatan, ketika sedang off, aku menemani Diaz. Kami duduk
berdampingan di kursi rotan di ruang tengah, menghadapi sebuah buku dongeng.
Sejak kedatangannya di rumah ini, tak sekali pun aku menyalakan televisi. Diaz
akan berlari menjauh dan berteriak keras - keras ketika tahu aku hendak
menyalakan televisi. Mungkin ia kesal, takut, gelisah, atau entah apa namanya,
menyaksikan hampir semua stasiun televisi menayangkan bencana maha dahsyat
tersebut saat ia pertama kali hadir di rumahku.
"Diaz," aku berputar-putar agak lama sebelum memulai percakapan di
antara kami, karena sebenarnyalah aku benar - benar tak paham latar belakang bocah
itu. Mengungkap keluarganya dengan mungkin bertanya apa profesi ayah - bundanya, tampaknya masih riskan.
Sekarang, beberapa menit kemudian, aku mulai mendapat titik terang ketika ia
mulai mendekatiku, membolak - balik buku dongeng di tanganku.
"Mana gambar surau ?"
celetuknya tiba - tiba. Suaranya mengandung kepedihan,
aku merasa kerinduannya pada kampung halaman sudah tidak bisa dibendung.
"Kau bisa menggambar? Kita cari kertas dan bersama - sama kita gambar surau yang paling
bagus, bagaimana?"
"Tidak mau. Aku mau surau yang ada dekat rumahku, yang ada dua pohon besar
di halamannya, yang di depannya ada warung Nenek Aida dan aku suka membeli gula - gula." Kepala bocah itu
menggeleng keras - keras seraya dicampakkannya kertas dan
pensil dari tanganku. Lalu kualihkan perhatiannya dengan menghidangkan
sekantung permen dan sekotak coklat. Aku ingin menghidupkan angan - angannya tentang gula - gula di warung depan surau. Ia
memandangku sejenak, tangannya kikuk mengaduk - aduk kantung permen. Aku pura - pura tak melihatnya. Kualihkan
pandanganku ke luar jendela. Jika hidup adalah rangkaian lakon, maka boleh jadi
bocah ini telah kehilangan sebagian besar dari skenario dan setting yang pernah
ditemuinya. Mudah - mudahan ia cukup tangguh menghadapi
peradaban baru yang benar - benar berbeda dengan kampung
halamannya.
Kukatakan
demikian karena di sekitar perumahan tempat tinggalku tak ada surau, tak ada
warung gula-gula, tak ada anak - anak mengaji seperti di kampungnya. Jika ini yang dikatakan
kesulitan, maka aku setuju dengan ketua Komite Penyelamat Korban Bencana, meski
mungkin masih bisa diatasi.
Fany – Kelas V
SD Cahaya Nur - Kudus
----------oOo------------
MEMORY SAGA
Mungkin kita sudah tak terlalu
menganggap kisah Florence Nightingale “The
Lady With The Lamp” (putri yang membawa lampu) kisah yang sangat luar biasa
ketika mempelopori pergerakan kemanusian di medan perang. Sebab, kita sudah
sering mendengar kisah-kisah fantastik peperangan di abad yang serba canggih
ini. Untuk jadi Florence di abad yang serba canggih akan berpikir dua kali
karena dibutuhkan keberanian dalam menghadapi orang-orang membutuhkan
pertolongan sesegera mungkin dibantu dalam keadaan darurat hingga dibutuhkan
langkah cermat dan cepat dalam menolongnya.
Atau mungkin Jean Henry Dunant “Orang berbaju putih” dalam buku
“Kenangan Solferino” yang telah mengembangkan organisasi Palang Merahnya
beserta bendera dasar putih bergambar tanda palang sebagai lambangnya. Atau
kalau boleh dikata sebagai seorang penggerak dan sekaligus mempelopori jiwa
kemanusiaannya dalam membantu mereka yang menjadi korban perang tanpa mau
memperhatikan keselamatan dirinya karena merasa berterimakasih kepada Florence sebagai
pendahulunya dari seorang perempuan keturunan ningrat hingga mau berjuang dalam
membantu korban perang.
Perjuangan mereka memang tidak
sia-sia. Hal ini dapat kita ketahui dengan adanya pendidikan Palang Merah
Remaja (Madya) sebagai pendorong semangat dalam mengobarkan panji bendera PMI.
Jumbara dan Temu KSR juga membuktikan bahwa semangat mempererat persahabatan
dalam mempertinggi mutu keterampilan, memelihara kebersihan dan kesehatan juga
berbakti kepada masyarakat di sekitarnya merupakan tugas dan kewajibannya.
Bergaul dengan banyak orang dari semua
lapisan masyarakat, tentu membawa banyak pengalaman dan kebaikan tersendiri,
sekaligus sebagai ajang tali silaturahim mempererat persahabatan antar angota
PMR Madya se-kabupaten Kudus dan Tri Bhakti PMR yang ketiga secara langsung
diamalkan. Begitu yang dialami keenam cewek kece yang terpampang di foto,
ketika mengikuti lomba “Jumbara dan KSR PMI Kabupaten Kudus” pada tanggal 1-3
Maret 2012 di SMK I Kudus yang diikuti SMP Negeri dan Swasta se-kabupaten
Kudus.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Peribahasa itu umumnya dipakai untuk menggambarkan kepada seseorang yang menuruni
bakat orang tuanya. Hal ini dapat dibuktikan ketika dalam perlombaan itu my friends SMP 1 Mejobo juga mampu
mengembangkan bakat dan potensinya sehingga dapat menyisihkan sekolah lain
dalam lomba cerdas cermat PMR. Woow, betapa bahagianya regu cerdas cermatku
mampu berprestasi. Tentu, semua itu membutuhkan perjuangan dan ketekunan
berlatih tanpa mengenal lelah. Ech, ternyata pembimbing PMRku juga pernah
meraih prestasi lho!
Begitu juga saat kelompokku dalam
mengembangkan potensi bakat seni di arena pensi juga berhasil meraih yang
terbaik. Sungguh membanggakan ketika pengumuman SMP 1 Mejobo dapat meraih
predikat juara dua. Untuk itu kuucapkan terima kasih kepada Ibu Jamiati selaku Pembina PMR dan Bapak
Sutarman Kepala SMP 1 Mejobo serta my
friends is the best.
Ech, iya ternyata aku masih ingat lho!
Ketika mau pensi salah satu temanku merasa stress karena belum siap apa yang
akan dipentaskan. Padahal sudah sampai pada nomor undi 10, aku mendapat nomor
undi 11. Apa mau dikata, waktu tinggal menghitung detik, tanpa persiapan yang
matang akhirnya kelompokku pun tampil seadanya dengan drama. Alangkah
mengejutkan, sungguh keajaiban merasuk di relung jiwa, sungguh di luar batas
kemampun kita, kami berempat mampu menampilkan adegan yang dapat membuat
peserta lain tertawa hingga akhirnya kelompokku mendapat applaus tepuk tangan dari mereka.
Kini, aku masih
menikmati adegan itu, walau kadang-kadang masih bisa tertawa sendiri
mengingatnya. Untuk itu ayo sobat kita pererat semangat dalam mengembangkan bhakti
kita kepada masyarakat di sekitar kita. Kita jaga lingkungan, kita bantu korban
bencana alam, kita songsong hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
“Maukah kita bertanya. Apa yang telah kita lakukan untuk bangsa ini?”
Karya : PMR Madya Unit SMP 1 Mejobo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar